MENGERTI KEHENDAK DAN PIMPINAN ALLAH
(Pergumulan Hidup Orang Percaya Mengerti Makna dan Tujuan Hidup Manusia)
oleh: Denny Teguh Sutandio
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
(Roma 11:36)
“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”
(Efesus 2:10)
I. Pendahuluan dan Latar BelakangManusia adalah makhluk yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” (manusia sebagai pribadi) sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (manusia sebagai pribadi yang diciptakan).1 Selain itu, manusia diciptakan Allah bukan tanpa tujuan, melainkan dengan tujuan dan tujuan itu adalah hanya untuk memuliakan Dia saja. Karena alasan inilah, sudah seharusnya sebagai manusia, kita harus kembali kepada makna dan tujuan hidup kita kepada Sang Pemberi Hidup itu, yaitu Allah. Ketika kita kembali kepada Allah, kita mengerti makna dan tujuan hidup kita sesuai dengan maksud penciptaan Allah itu.
II. Dosa: Hambatan Utama dalam Mengerti Makna dan Tujuan Hidup ManusiaTetapi, benarkah semua manusia ingin kembali kepada Allah untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya? Tidak. Manusia lebih memilih untuk menetapkan diri sendiri atau orang lain (orangtua, teman, dll) sebagai pusat dan sumber (“tuhan”) yang menuntun hidupnya. Itulah yang disebut dosa. Dosa bukan hanya sekadar membunuh, mencuri, berzinah, dll. Itu hanya akibat dosa. Dosa berarti pemberontakan terhadap Allah. Ketika manusia mulai memberontak kepada Allah dan mencari “sumber” lain di luar Allah, pada saat itulah, manusia mulai berdosa, meskipun orang ini tidak pernah membunuh, mencuri, dll. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of The Faith mendefinisikan dosa sebagai berikut,
“When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect ... God had interpreted the universe for him, or we may say man had interpreted the universe under the direction of God, but now he sought to interpret the universe without reference to God... The result for man was that he made for himself a false ideal of knowledge.” (=Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal... Allah telah menginterpretasikan alam semesta bagi manusia atau kita dapat mengatakan manusia telah menginterpretasikan alam semesta di bawah perintah Allah, tetapi sekarang manusia berusaha untuk menginterpretasikan alam semesta tanpa petunjuk Allah... Hasil bagi manusia adalah bahwa dia menghasilkan bagi dirinya sebuah ideal pengetahuan yang salah.)2
Dari definisi Dr. Van Til ini, kita mendapatkan pengertian bahwa dosa berarti manusia berusaha mengambil alih posisi Allah sebagai pusat dan sumber untuk menginterpretasikan alam, manusia, dan segala sesuatu. Akibatnya, bukan pengetahuan yang benar, manusia semakin mendapatkan pengetahuan yang salah (tetapi “seolah-olah” benar). Gambaran pengertian inilah pertama kali dimulai oleh iblis, sebagai bapa/sumber dosa. Iblis berarti penantang Allah. Artinya, ia menyamar sebagai malaikat terang untuk menipu manusia. Bagaimana cara iblis menipu? Iblis menipu manusia dengan menggoda manusia meninggalkan Allah dan menetapkan standar diri atau orang lain sebagai pusat yang menggantikan Allah. Itulah cara kerja iblis yang dialami Adam dan Hawa. Mari kita cermati cara kerja iblis dan dosa di dalam kasus Adam dan Hawa ini.
Pertama, iblis pertama-tama mencobai Hawa bukan dengan perkataan yang jelas-jelas salah, tetapi dengan perkataan yang “seolah-olah” benar. Baca Kejadian 3:1, “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (bdk. perkataan Allah sendiri di dalam Kej. 2:16-17, “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.””) Perhatikan apa yang telah saya katakan tadi. Iblis menipu manusia dengan pertama-tama memakai “standar” (atau perkataan) Allah bukan untuk menyadarkan manusia, tetapi untuk memelintirnya. Iblis memelintir perkataan Allah ini dengan pertama-tama meragukan perkataan-Nya. Bukan hanya meragukan perkataan-Nya, iblis juga datang mencobai Hawa ini dengan membalikkan sebagian perkataan-Nya. Kemudian, si Hawa dengan bangganya mengulang perkataan-Nya dan menambahinya. Hawa mengatakan bahwa Allah melarangnya makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat bahkan Ia melarang untuk merabanya (Kej. 3:2-3). Padahal, Allah tidak pernah melarang Hawa untuk meraba buah itu (bdk. Kej. 2:17). Di sini, iblis sudah berhasil memancing psikologi Hawa dengan meragukan dan membalikkan firman Allah, lalu Hawa (dengan agak jengkel dan sedikit tidak puas) menjawab pernyataan iblis itu dengan mencoba menambahi perkataan yang tidak difirmankan-Nya. Apa yang Hawa lakukan juga mungkin bisa terjadi pada kita. Ketika iblis mencobai kita, kita kadang kala menjawab cobaan itu dengan mengutip Firman Allah yang diekstrimkan (ditambahkan), sehingga mungkin seolah-olah kita “Alkitabiah”, padahal sebenarnya kita sedang menambahi sesuatu yang tidak difirmankan Allah. Melalui cobaan iblis yang pertama ini, kita disadarkan untuk berhati-hati terhadap godaan iblis.
Kedua, iblis kemudian mencobai Hawa langsung dengan mengatakan apa yang benar-benar bertolak belakang dengan perkataan-Nya. Jika di poin pertama tadi, kita telah melihat cara kerja iblis yang halus yaitu menyamarkan sebagian firman Allah, maka di poin kedua ini, kita melihat lebih tajam lagi bahwa iblis benar-benar menyamarkan dan membelokkan semua firman Allah. Allah telah berfirman kepada manusia agar tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, karena jika mereka memakannya, mereka mati, tetapi iblis memutarbalikkan perkataan-Nya dengan mengatakan bahwa jika mereka makan, mereka tidak mati, melainkan akan menjadi seperti Allah, tahu yang baik dan jahat (Kej. 3:4-5). Di saat inilah, motivasi dan semua cara iblis benar-benar terbongkar, tetapi Hawa bukannya sadar malahan tergoda oleh kedok iblis itu. Akhirnya, Hawa melihat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu baik untuk dimakan, sedap kelihatannya, dan menarik hati karena memberikan pengertian, kemudian setelah itu, ia memakannya (Kej. 3:6). Lalu, Hawa memberikan buah itu kepada suaminya, Adam, dan Adam memakannya. Akibatnya, setelah makan buah pohon itu, mereka berdua telanjang (Kej. 3:7).
Ketiga, dosa mengakibatkan mereka tidak mau mengaku apa yang telah mereka perbuat (baca: Kej. 3:9-19). Setelah mereka memakannya, Allah datang ke Taman Eden mencari mereka (Kej. 3:9). Pdt. Dr. Stephen Tong menafsirkan pernyataan “Di manakah engkau?” di dalam Kej. 3:9 ini sebagai pencarian Allah akan posisi Adam dan Hawa secara rohani, bukan secara jasmani. Ketika Allah mencari mereka, mereka bersembunyi. Lalu, akhirnya, mereka berani keluar dan mengaku bahwa mereka bersembunyi. Ketika Allah bertanya mengapa mereka bersembunyi, mereka menjawab bahwa mereka telanjang. Lalu, Allah bertanya, siapa yang memberi tahu bahwa mereka telanjang dan apakah mereka makan buah pohon itu. Pada saat itulah, terjadilah saling tuding-menuding. Ketika Allah bertanya kepada Adam, Adam menyalahkan Hawa. Ketika Allah bertanya kepada Hawa, Hawa menyalahkan ular. Lalu, mengapa Allah tidak bertanya juga kepada ular? Karena Allah tahu ular itu dipakai setan yang pekerjaan sehari-harinya adalah mencobai manusia. Sehingga, Ia tidak menyalahkan ular itu, tetapi menyalahkan manusia yang mau diperdaya iblis.
Di sini, kita mendapatkan satu rangkaian jelas mengenai cara kerja iblis dan dosa:
Iblis mencobai Hawa (bukan Adam) dengan meragukan dan membalikkan SEBAGIAN perkataan Allah -> Hawa menjawab pertanyaan iblis itu dengan mengulang perkataan-Nya dan menambahinya -> iblis melancarkan serangannya yang kedua yaitu benar-benar memutarbalikkan SELURUH perkataan perkataan-Nya -> Hawa mulai tergoda, mencoba melihat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu, akhirnya ia jatuh ke dalam pencobaan itu -> Hawa tidak mau menikmati dosanya sendiri, ia memberikannya kepada Adam untuk bersama-sama menikmatinya -> Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa -> mereka telanjang -> mereka tidak mau mengaku (bahkan saling menuding) ketika Allah menanyai mereka -> Allah menghukum mereka -> mereka diusir Allah dari Taman Eden.
Dari skema rangkaian di atas, kita mendapatkan satu pelajaran berharga, yaitu iblis mengakibatkan manusia meninggalkan Allah secara perlahan-lahan dengan mencoba meragukan (dan memutarbalikkan) SEBAGIAN firman-Nya, lalu akhirnya benar-benar memutarbalikkan SEMUA firman-Nya, sehingga manusia benar-benar terlepas dari Allah. Akibat tragisnya, manusia hidup sia-sia dan tak mengerti arah hidup yang jelas, karena mereka mencoba mencari makna dan tujuan hidup di luar Allah.
III. Aplikasi Dosa sebagai Hambatan-hambatan dalam Mengerti Makna dan Tujuan Hidup ManusiaSetelah kita mengerti bahwa dosa adalah hambatan utama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia, saat ini, kita akan mencoba mengaplikasikan konsep dosa tersebut di dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana aplikasi dosa tersebut merupakan hambatan-hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia. Apa yang mengakibatkan kita tidak lagi melihat Allah sebagai Sumber dan Pusat hidup kita? Saya mengkaji ada empat penyebab, dua penyebab pertama diambil dari 2Tim. 3:2.
A. Diri
Di dalam 2Tim. 3:2, Paulus menyebutkan bahwa di hari-hari terakhir, manusia mencintai dirinya sendiri (mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya, “menjadi pecinta diri”). Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya dengan menambahkan kata
self-centered (berpusat kepada diri). Di sini, kita mendapatkan pengertian bahwa hambatan pertama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia adalah diri dan keterpusatan pada diri. Mengapa orang meletakkan diri sebagai pusat? Karena mereka menganggap bahwa diri bisa dibanggakan, cukup layak, dll. Benarkah mereka sungguh layak dan pintar? Realita menyatakan hal yang sebaliknya. Semakin manusia menganggap diri hebat, pintar, layak, dll, semakin manusia hidup tidak karuan. Abad rasionalisme di mana manusia memutlakkan rasio manusia akhirnya mengakibatkan meletuslah Perang Dunia 1 dan 2. Di zaman postmodern, ketika manusia menganggap kehebatan diri itulah yang terpenting, anehnya manusia tidak bisa mengatasi masalah global, seperti krisis global, dll. Di sini, letak ironisnya manusia yang terus merasa diri hebat. Padahal, Alkitab mengajar bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, dan polluted). Ketika manusia disebut sebagai makhluk yang: dicipta, terbatas, dan terpolusi dosa, maka manusia sebenarnya tidak layak menjadi patokan kebenaran yang menentukan hidupnya sendiri. Ada 3 arti di balik konsep ini, yaitu: Pertama, manusia itu dicipta, maka ia hanya bisa mengenal sesama ciptaan (atau lebih rendah dari itu, misalnya benda-benda mati). Tentunya, manusia tak mungkin bisa mengenal Sang Pencipta. Kedua, manusia itu terbatas, maka manusia hanya bisa mengerti dan mengenal sesuatu yang terbatas sifatnya (bahkan tidak bisa mengetahui yang terbatas itu pun dengan sempurna), dan tentu saja tak mungkin mengenal yang tidak terbatas (misalnya, Allah). Ketiga, manusia itu berdosa, maka ketika manusia mengenal sesuatu, ia tak mungkin bisa mengenal sesuatu itu secara komprehensif dan dengan pengertian yang tepat. Misalnya, ketika manusia mau mengenal Allah, dosa mengakibatkan manusia hanya mengerti dan mengenal Allah tidak secara tuntas, tetapi sebagian dan bahkan sebagian itu pun telah dicemari dosa. Sehingga, secara fenomena, manusia bisa kelihatan beribadah kepada “Allah,” tetapi hati mereka tidak tertuju dan berpusat pada Allah. Rev. Dr. John R. W. Stott (seperti dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong) pernah mengatakan bahwa di dalam agama, manusia tidak pernah mencari Allah, tetapi malahan melarikan diri dari Allah.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Secara theologi, kita mungkin sudah belajar agar diri jangan dijadikan sebagai patokan kebenaran, tetapi benarkah dalam hati, kita sungguh-sungguh mengamini dan menjalankan prinsip yang telah kita pelajari itu? Benarkah ketika kita mencari pasangan hidup, pekerjaan, studi, dll, kita lebih mementingkan kehendak Tuhan ketimbang kehendak diri? Benarkah kita berani dan rela mematikan keinginan daging kita untuk disesuaikan dengan kehendak dan rencana Tuhan dalam hidup kita? Biarlah theologi yang telah kita pelajari dapat kita jalankan untuk memuliakan Tuhan. Jangan biarkan theologi menjadi bahan pelajaran yang kita pelajari tanpa kita aplikasikan!
B. Uang
Penyebab kedua yang diambil dari 2Tim. 3:2 ini yaitu uang. Selain diri, Paulus mengatakan bahwa uang menjadi kegemaran orang di hari-hari terakhir. “Menjadi hamba uang” dalam ayat ini di dalam terjemahan Inggris diterjemahkan mencintai uang. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bersifat mata duitan.” Dengan kata lain, uang menjadi sumber dan pusat bagi hidup manusia berdosa. Uang yang akhirnya menjadi tuan dalam hidup manusia berdosa, sehingga secara sadar atau tidak sadar, ke mana-mana iblis memakai sarana ini untuk menipu kita, seolah-olah tanpa uang, kita tidak bisa hidup. Akhirnya, ketika orang yang sudah ditipu ini diinjili atau dibawa ke gereja, lama-lama ia akan berpikir, apakah ke gereja bisa menghasilkan uang lebih banyak? Jika ya, ia akan terus ke gereja. Jika tidak, ia akan keluar dari gereja. Tidak heran, demi memenuhi selera berdosa dari manusia yang tamak akan uang ini, tidak sedikit gereja (market-oriented) yang berani mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti sukses, kaya, berkelimpahan, dll. Gereja yang seharusnya menjadi suara hati nurani masyarakat dan pewarta Kebenaran Allah akhirnya berkompromi dengan filsafat manusia berdosa. Lalu, apa yang Alkitab ajarkan? Apakah Alkitab mengajar bahwa uang itu tidak perlu, sehingga kalau mau menjadi Kristen, harus miskin? TIDAK! Alkitab tidak pernah melarang kita untuk kaya dan sebaliknya, mengharuskan kita miskin baru bisa mengikut Tuhan. Yang Alkitab ajarkan adalah orang percaya jangan menjadi gila harta/uang, mengapa? Karena, “akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Tim. 6:10)
Alkitab mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta uang, tetapi dunia mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah kurang uang. Apa bedanya? Perbedaan ini bukan hanya perbedaan superficial, tetapi perbedaan esensial. Alkitab mengajar kita untuk tidak berfokus kepada (atau mengilahkan) uang, karena itu adalah akar kejahatan. Apa dasar presuposisinya? Pertama, karena uang itu bersifat fana, yang sebentar lagi akan hilang. Mungkin kita hari ini kaya, tetapi mungkin saja tahun depan kita melarat dan menjadi miskin. Uang tidak bisa menjamin hidup kita, sehingga kita tidak boleh menjadikan uang sebagai ilah dalam hidup kita. Kedua, fakta membuktikan bahwa hanya karena cinta uang, hubungan keluarga bisa porak poranda. Kita sering mendengar bahwa hanya karena tamak uang, istri rela membunuh suaminya, adik rela membunuh kakaknya, bahkan anak rela membunuh orangtuanya. Bahkan di kalangan Kristen sendiri (di keluarga “hamba Tuhan”), anak dan menantu bisa saling baku tembak memperebutkan uang dari sang ayah. Sehingga, tidaklah salah ketika Alkitab mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sedangkan ketika dunia mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah kurang uang, sebenarnya secara prinsip, mereka mengilahkan uang (meskipun ada yang tidak berani mengungkapkannya secara terus terang), seolah-olah tanpa uang lah, manusia justru berbuat jahat (sedangkan kalau memiliki banyak uang, manusia tidak akan berbuat jahat). Mungkin ada yang bertanya, bukankah memang ada orang yang kurang uang (atau miskin) lalu melakukan kejahatan, misalnya merampok? Apakah fakta ini membuktikan bahwa konsep ini benar? TIDAK! Orang yang kurang uang bisa berbuat jahat itu bukan karena dia kurang uang, tetapi karena iri dan malas. Iri hati dan kemalasan mengakibatkan manusia terus ingin mencari sesuatu yang bisa memuaskan dirinya sendiri, tetapi herannya mereka tak mau berusaha bekerja keras, malahan mereka mencari keuntungan dari orang lain, misalnya, merampok, dll. Jadi, pokok persoalannya bukan pada kekurangan uang, tetapi pada karakternya. Fakta membuktikan bahwa orang yang kurang uang pun ada yang tidak berbuat jahat, malahan sebaliknya, justru orang yang ingin memiliki banyak uang, mereka akan mempergunakan segala macam cara untuk memperoleh lebih banyak uang lagi.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Benarkah hidup kita diarahkan hanya kepada Kristus? Mungkin secara theologi, kita sudah banyak mendengar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang dan kita harus memilih: Allah atau Mamon. Tetapi apakah theologi dan Firman Tuhan yang kita dengarkan benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Benarkah kita sungguh-sungguh rela tidak menjadikan uang sebagai pusat hidup kita? Beranikah kita yang memiliki toko sendiri berkomitmen untuk tidak membuka toko atau bekerja pada hari Minggu, meskipun itu tidak menguntungkan bagi kita? Semua ini membuktikan dan menguji kesiapan dan komitmen kita di hadapan Tuhan tentang bagaimana kita tidak mengilahkan uang sebagai pusat hidup kita. Yang sering terjadi adalah kita secara teori mengamini setiap khotbah dan Firman Tuhan yang diberitakan, tetapi secara praktik, kita hampir tidak menjalankannya dengan segudang argumentasi yang kita ajukan kepada Allah. Sudah siapkah kita berkomitmen untuk mengutamakan Tuhan lebih dari segalanya ataukah kita mau mendua hati: Allah dan Mamon?