Kehidupan seorang anak, entah hasil pernikahan yang sah maupun hubungan di luar nikah, adalah tanggung jawab orang tuanya. Seharusnya lelaki yang berbuat diminta pertanggung jawabannya.
Hanya seringkali tidak mudah meminta pertanggung jawaban lelaki tersebut sehingga ibu harus memelihara anaknya sendiri. Tidak semua ibu sanggup melakukannya sehingga terpaksa bayi2 itu dibuang atau diserahkan ke panti asuhan.
Adanya orang lain yang ingin membantu penghidupan anak tersebut, sah-sah saja, akan tetapi saya pribadi tidak setuju kalau anak itu dipisahkan dari orangtua biologisnya atau ditutupi asal usulnya.
Misalnya, Anto dan Anti, pasangan tanpa anak, mengadopsi Tini, anak seorang perempuan bernama Tuti, yang merupakan hasil hubungan di luar nikah Tuti dengan Tito pacarnya, yang tidak bertanggung jawab. Tuti akhirnya menyerahkan anaknya ke panti, lalu Anto dan Anti mengadopsi anak tersebut saat berumur 10 bulan, dan merekalah yang memberi nama Tini. Tini tidak pernah tahu siapa ibu biologisnya, apalagi ayah biologisnya. Tuti, ibu biologisnya pun tidak pernah tahu, siapa yang mengadopsi anaknya. Tini diperlakukan secara hukum seperti anak kandung Anto dan Anti. Memang, Anto dan Anti sangat sayang kepada anak angkatnya itu, seperti anak kandung sendiri.
Akan tetapi setelah dewasa Tini berjumpa dengan seorang lelaki yang dicintainya bernama Tobi. Mereka ingin menikah, tetapi tidak mengetahui jikalau mereka masih satu ayah biologis, karena Tobi adalah anak Tito, ayah biologis Tini yang pergi meninggalkan Tuti sewaktu hamil. Tito ternyata menikah dengan perempuan lain setelah menghamili Tuti di luar nikah. Kalau sudah begini, bagaimana? Inses antar orang seayah walau beda ibu adalah dosa (Imamat 18:9).