Iman Yang Dewasa
“Iman yang dewasa” oleh gereja kristen biasa dimengerti secara organisasional, sehingga kebanyakan orang kristen mempunyai pemahaman bahwa orang beriman yang sudah bertobat bertahun-tahun dan terlibat dalam pelayanan gereja, dianggap sudah mempunyai iman yang dewasa. Pelayanan yang dimaksud adalah menjadi gembala sidang atau pendeta, majelis gereja, atau paling sedikitnya menjadi guru sekolah minggu. Dengan pemahaman demikian maka mereka sulit menerima pendapat yang berbeda dari pada itu. Bahkan diantaranya ada yang tersinggung bila dikatakan belum dewasa imannya dan membalas mengatai orang itu sebagai “sok” rohani atau merasa lebih rohani dan “sombong rohani” atau merasa diri lebih suci dari orang lain dan “sok” ekslusif atau merasa dirinya lebih tinggi. Dengan demikian maka silang pendapat berkembang menjadi perselisihan pendapat yang justru menunjukkan “ketidakdewasaan iman” mereka. Untuk mencegah silang pendapat itu, gereja kristen harus mempunyai pemahaman yang mendasar tentang “Iman yang dewasa” yang sesuai dengan firman Tuhan dan yang dapat diterima oleh akal sehat, sehingga bisa di “amini” oleh (semua) orang beriman.
Secara organisasional, orang yang mempunyai iman yang dewasa sudah pada tempatnya berada dalam pelayanan jemaat, karena dalam pelayanan imannya dimurnikan dan akan menjadi sempurna. Tetapi pemahaman itu tidak bisa diputar-balikan menjadi pemahaman bahwa orang yang melayani berarti sudah mempunyai “iman yang dewasa”. Adalah hal yang sulit mengukur kedewasaan iman seseorang yang layak menjadi pelayan jemaat; oleh karena itu jalan terbaik yang bisa dilakukan gereja adalah meniru cara jemaat mula-mula memilih pelayannya yang “penuh Roh dan hikmat” (Kis.6:1-7).
Kis.6:1-7. Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman.” Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia. Mereka itu dihadapkan kepada rasul-rasul, lalu rasul-rasul itupun berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka. Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya.
“Penuh Roh” yang dimaksud adalah orang yang dalam dirinya terlihat suatu fenomena atau suatu perbuatan yang dapat dilihat dan yang dapat dinilai oleh orang lain. Fenomena itu dapat berupa karakter yang mencerminkan buah Roh (Gal.5:22-23) dan adanya karunia-karunia Roh yang dipraktekkan orang percaya (1Kor.12:8-10). (baca: Penuh Roh)
Gal.5:22-23. Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
1Kor.12:8-10. Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikankarunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan “penuh hikmat” adalah mempunyai karunia hikmat; dan yang dimaksudkan bahwa Stefanus “penuh iman” adalah karunia iman, karena Stefanus telah menghadapi saat “martir” dengan “penuh iman.” (Kis.7.54-60)