Dalam suatu kotbah di bawah tema “The Power of Choice”, pendeta ini mengawalinya dengan sepotong kalimat: “Jangan berpikir bahwa nasib atau kekekalan sudah ditentukan oleh Allah.” Selanjutnya, dikatakan olehnya: “Kekekalan ditentukan oleh manusia itu sendiri, bahkan nyaris mutlak.”
Demikian pendeta ini melontarkan semacam keyakinan yang bagi saya, implikasinya sangat vital terhadap pondasi iman kristen. Maksud saya, bahwa inti iman kristen mengacu kepada kehidupan kekal dikatakan itu bergantung pada manusia justru menghilangkan signifikansi kekristenan itu sendiri dibandingkan dengan iman-iman agama lain. Itu seperti memindahkan rumah dari yang dibangun di atas pondasi batu karang ke atas hamparan pasir pantai.
Sebagai awam saya memang tidak kompeten menilai doktrin mana yang sungguh-sungguh alkitabiah di antara Calvin dan Arminius. Namun satu hal dapat dipastikan tidak satu orang pun yang lahir dan akan lahir ke dunia fana ini memiliki potensi pada dirinya untuk meraih sesuatu yang di luar jangkauannya seperti kehidupan. Setiap orang pada dasarnya sedang hanyut dalam arus dosa menuju lautan kelam kematian. Tidak ada pilihan sebab tidak satupun orang dapat memilih untuk menolak kebinasaan. Semua akan mati dan tidak satupun orang punya kuasa untuk memilih tetap survive di permukaan bumi ini.
Jadi jika yang dimaksudkan dengan ‘kekekalan’ oleh pendeta ini, adalah hidup baka, mana boleh hal itu mungkin sementara mempertahankan hidup fana saja tidak mungkin. Ini realitas manusia. Ya baiklah mungkin kalimat itu bisa dterima juga. Kekekalan ditawarkan, lalu manusia yang menentukan terima atau menolak. Tetapi bukan itu esensi kehidupan karena kehidupan itu sendiri adalah hak prerogatif Allah. Kalau Tuhan Allah tidak menawarkan, terus manusia mau pilih apa?
Bagi saya jelas, kehidupan adalah pemberian mutlak dari Tuhan Allah. Allah memelihara dan memberi jaminan kehidupan itu tetap terjaga dan eksis sepanjang Dia menghendakinya. Untuk itu Dia, dengan perantaraan RohNya, terus-menerus mencondongkan hati nurani dan jiwa manusia kepada diriNya. Manusia hanya tinggal dengan sadar merelakan diri mengikuti aliranNya, sambil mengisi kehidupannya dengan karya. Disitulah iman ambil peranan. Oleh iman, orang benar hidup.
Cilakanya, jiwa manusia banyak dalih bahkan sejak di awal kejatuhannya. Ketika orang memaksimalkan karyanya, ia malah kehilangan hakekat hidup. Ketika orang menyia-nyiakan kehidupan, kedaulatan Allah-lah yang dibikin sasaran polemik. Padahal manusia sendiri itulah yang lupa memahami the power of choice -nya.
Hak memilih dianugerahi oleh Allah ke dalam diri manusia supaya manusia sadar betapa agung dan mulia Allah itu; supaya manusia dengan kebebasannya sendiri tunduk di hadiratNya. Bagi saya, tidak ada kuasa apapun di dalam hak untuk memilih, kecuali semacam mandat saja. Silahkan saja memilih, dan memang harus memilih, tetapi jangan kira hasilnya akan sesuai yang dibayangkan. Lalu, bukankah itu seolah main-main saja? Tentu tidak, justru itu menunjukkan bahwa di dalam kehidupan ini ada rencana Allah yang jauh lebih berharga. “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” Hanya di dalam Allah, ada jaminan dan kepastian yang dapat diandalkan. Di luar Dia, apapun menjadi goyah dan tidak teguh kokoh. Lagi-lagi di situlah iman orang benar ambil peranan. Menikmati hidup sambil bersiaga berpartisipasi kemana Tuhan menuntun arah hidup ini. Melewati suka dan duka, tetap percaya, tetap berkarya dan tetap memiliki pengharapan. Tidak tergelincir menjadi jahat, penuh amarah dan benci, sumpah serapah dan caci maki.
Baiklah, ini posting seharusnya memang hanya ungkapan rasa gelisah saja terhadap kalimat seorang pendeta. Terimakasih ya, bagi yang sudah membaca.