*******
Dua minggu yang lalu, ketika sedang membongkar gudang, ane menemukan sebuah alkitab tua di antara tumpukan buku dan koran. Ketika membuka halaman awal dari alkitab tersebut, ane menemukan judul “saksi-saksi Yehovah” (SSY). Ane jadi bingung, karena setahu ane dalam keluarga besar ane tidak ada pengikut SSY. Jadi alkitab SSY siapakah ini? Dalam kebingungan, ane mendatangi ibu dan menanyakan perihal tersebut. Dari penjelasan beliau, ane baru tau kalo alkitab SSY itu milik adik kandung (perempuan) nenek ane dari pihak ayah. Karena adiknya nenek, tentu ane panggil nenek juga.
Dari cerita ibu, akhirnya ane jadi kejadian seutuhnya. Saat itu sekitar tahun 1980-an. Awalnya, nenek ane itu adalah seorang kristen yang hidup sederhana. Di awal 40-an beliau menjadi janda karena suaminya menderita sakit dan meninggal. Semenjak menjanda, beliau semakin mendekatkan kepada Tuhan, selalu datang lebih awal pada saat ibadah raya, duduk paling depan, aktif dalam pelayanan dan berbagai kegiatan lainnya. Pada suatu ketika, putri sulungnya sakit keras di luar kota. Beliau segera berangkat untuk menjenguk. Kira-kira dua minggu kemudian, sakit putrinya semakin memburuk dan meninggal dunia. Berinisiatif menguburkan putrinya di kota tersebut, kira-kira setelah lewat satu bulan barulah nenek ane kembali tempat tinggalnya. Adapun berita tentang kematian anaknya tersebut sudah diketahui oleh pihak gereja karena pada saat kejadian ada orang yang disuruh untuk memberitahukan.
Sebagaimana tradisi, jika ada jemaat atau keluarga jemaat yang meninggal maka gereja akan mengutus wakilnya bersama beberapa jemaat untuk mengadakan penghiburan di rumah yang bersangkutan. Tetapi setelah lewat berminggu-minggu, tidak ada satupun wakil gereja datang untuk mengadakan penghiburan. Emosi yang tidak stabil karena kematian putrinya bercampur dengan kekecewaan karena merasa gereja tidak mempedulikan dirinya sebagai jemaat membuat kemarahannya memuncak. Tak berapa lama kemudian, entah bagaimana ceritanya, nenek ane sudah terhitung sebagai jemaat SSY di kotanya. Kata ibu, ketika almarhum ayah ane menanyakan kenapa beliau “pindah” (waku itu masih di sekolah dasar), beliau cuma menjawab, “di sini (SSY) ada perhatian dan kepedulian.”
Ternyata hal yang sama juga pernah dialami oleh nenek ane dari pihak ibu (ibu kandungnya ibu ane). Ketika itu cucu sulung dari putra sulungnya meninggal di kota lain. Karena sangat jauh, beliau tidak sempat melihat & hanya memberitahukan kabarnya pada pihak gereja. Sebagai jemaat gereja, kehidupan nenek ane ini juga sebelas-duabelas dengan nenek ane sebelumnya. Sama-sama janda, hidup sederhana dan sama-sama berusaha menjadi jemaat yang baik. Tetapi, entah kenapa, lewat berminggu-minggu, yang namanya penghiburan tidak pernah terjadi. Bahkan utusan gereja untuk hanya sekedar datang menyampaikan turut berdukacita juga tidak pernah ada. Kecewa dan marah, nenek ane memutuskan untuk tidak akan menginjakkan kaki lagi di gereja tersebut. Padahal beliau melewatkan masa kecil, remaja dan dewasanya di gereja tersebut. Setelah belasan tahun, akhirnya beliau mau lagi menginjakkan kakinya di gereja ketika pernikahan putrinya (ibu ane) meskipun itu gereja di kota lain.
*******
Setelah merenungkan dua kisah serupa tapi tak sama ini, ane sangat-sangat menyayangkan sikap dua gereja tersebut yang entah kenapa seperti “lupa” dengan kewajibannya untuk “memperhatikan” (baca: menggembalakan) jemaatnya. Bahkan sampai sekarang pun, pendeta atau gembala kadang kala terlalu terfokus untuk berkhotbah dan sering melupakan kunjungan, besuk, doa pengurapan & kesembuhan atau melakukannya juga tapi hanya untuk jemaat tertentu yang kaya atau berstatus sosal tinggi.
Hal ini juga yg ane liat dan benar-benar terjadi bahwa banyak jemaat yang tidak mau ibadah, pindah gereja bahkan pindah keyakinan karena mereka “merasa” tidak diperhatikan dan dipedulikan lagi. Jauh lebih banyak daripada “hanya” karena kebenaran theologia, khotbah, ibadah raya atau bangunan gereja.
Petrus, ketika diperintahkan Yesus untuk menggembalakan domba-domba-Nya, ditanyai sampai tiga kali dengan pertanyaan yang sama, bahwa apakah dia mengasihi Yesus. Semoga setiap orang yg mengaku sebagai pendeta atau gembala, bener-benar mengasihi Yesus sebagaimana Petrus mengatakannya.