Belakangan ini ada gereja di Jakarta yang memperkenalkan pelayanan ‘Minyak Urapan’ yang spektakuler sehingga menarik ribuan jemaat untuk bergabung,namun praktek ‘minyak urapan’ ini tidak sepi kritik bahkan banyak pertanyaan diajukan banyak pihak karena praktek itu tidak lazim dilakukan dikalangan Kristen.
Majalah BAHANA edisi April 2001 mengulas praktek ini dengan judul ‘Pdt.Drs. Y. Pariadji: Sejak Lahir Sampai Mati Manusia Perlu Minyak Urapan’ (hlm.27).
Dilaporkan bahwa pendeta yang mengaku rohnya pernah diundang Tuhan menghadap takhta-Nya di surga dengan diantar Rasul Petrus itu dalam brosurnya menuliskan, bahwa:
(1) Firman Allah mengajar manusia bahwa diperlukan minyak urapan sejak manusia lahir di bumi sampai kepada kematiannya. Bahkan Allah sendiri untuk kehadiranNya di Bait Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menguduskannya lebih dahulu dengan minyak urapan. Hal tersebut untuk selanjutnya harus dilakukan secara turun-temurun bagi orang Kristen. Minyak urapan diperlukan dalam hidup umat sehari-hari dan dalam rumah tangganya;
(2) Minyak Urapan memegang peranan penting dalam penyerahan anak,ini didasarkan Im.8:1-2 dimana disebutkan bahwa anak-anak Harun harus diserahkan dan ada sarana minyak urapan, roti tidak beragi dan korban darah.
Dengan mengutip Mat.18:10 dan Luk.10:18-20 ditulis bahwa “Tuhan Yesus menyatakan dan menjanjikan bahwa ada para malaikat dari Surga yang akan menjaga dan melindungi anak-anak. Alkitab yang mengatakan harus ada sarana-sarananya, yaitu dengan kuasa minyak urapan. Sejak manusia lahir di bumi perlu minyak urapan agar tidak diganggu setan-setan dan roh-roh jahat. Maka anak-anak kecil perlu diserahkan agar sehat sentosa, agar tidak mengalami kecelakaan dan bebas dari marabahaya.”
Bagaimanakah dengan ajaran ‘Minyak Urapan’ ini? Apakah ini sesuai dengan pengajaran Alkitab atau bukan? Sekalipun ajaran itu dikatakan berdasar firman Allah, marilah kita melihat apakah firman Allah benar-benar mengajarkan hal itu atau tidak.
Penggunaan ayat-ayat diluar pengertian konteksnya dalam ajaran ini dapatlah dilihat secara kasat mata dan merupakan konsekwensi logis dari seorang pendeta yang kurang memiliki dasar pengertian Alkitab yang utuh, ia hanya belajar melalui Sekolah Alkitab Malam YPPII Jakarta (86-87), dan sebagai seorang apoteker yang biasa meramu obat-obatan, sudah dapat diperkirakan bahwa bukannya profesi semulanya ini mendorong timbulnya ide ramuan minyak urapan yang bersifat farmakologis, namun menjurus pada pengertian magis, suatu
gejala perdukunan.
Pengertian minyak urapan yang non-farmakologis dan lebih berbau perdukunan itu jelas terlihat dari khasiat minyak urapan dalam praktek penggunaannya di gereja itu. Diceritakan di BAHANA bahwa ada jemaat yang secara tidak sengaja matanya yang juling terkena cipratan minyak urapan langsung sembuh dan normal kembali, bahkan ada rumah yang kebanjiran, setelah saluran-saluran air yang mampet disiram dengan minyak urapan, airnya langsung lancar dan menjadi kering dan bebas banjir.
Memang dalam Perjanjian Lama ada cerita tentang ‘Minyak Urapan’ namun pengertiannya beda sekali dengan praktek pendeta tersebut. Dalam PL ‘minyak urapan’ digunakan sebagai ramuan rempah-rempah yang kudus yang digunakan dalam hubungan dengan pengurapan, pentahbisan dan pengudusan Bait Allah dan peralatannya, dan para Imam dan Raja yang dipilih Allah
(Kel.29:7;30:22-33;Im.8:10-12;1Sam.9:16;10:1), jadi bukan dimaksudkan sebagai jimat yang memiliki kekuatan magis/mujizat untuk kesembuhan mata juling atau melancarkan saluran mampet.